HAKIKAT CINTA MENURUT ISLAM
DAN PSIKOLOGI
Cinta merupakan hal yang
mendasar dalam hidup ini, terkadang cinta membawa bahagia bagi manusia, dan
dapat pula berubah menjadi prahara. Cinta adalah instrumen untuk mencapai tujuan,
pada dasarnya cinta adalah netral, tetapi terpulang siapakah yang mengemudi
cinta itu sendiri, jiwa nafsu syahwat yang mendominasi maka wajarlah cinta itu
akan berakhir dengan kebinasaan, tetapi ketika cinta yang bertaburan dengan
bunga iman kepada Allah maka cinta adalah pengikat antara manusia dengan
tuhannya, sehingga akan menjadikan dia ikhlas beribadah. Dalam
mendefinisikan cinta, banyak dari para pemikir, mengkiaskan makna cinta dalam
kata-katanya, Al-Ashma’i berkata, saya pernah bertanya kepada seorang
arab badui tentang cinta. Dia menjawab, “cinta itu tersembunyi
di dalam batu. Apabila dinyalakan, ia akan tampak. Namun apabila dibiarkan, ia
pun sembunyi di dalamnya”. menurut ibnu Al-Qoyyim, orang-orang berakal sepakat
mencela orang yang mencintai sesuatu, yang membuat dirinya celaka karena
kecintaanya itu. Cinta adalah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada para
Mahklukya.
Lantas bagaimana islam
menyikapi emosi cinta yang selalu membawa kebahagiaan, namun sering juga
membawa malapetaka bagi pecinta maupun yang dicintainya, adakah cinta
yang sejati, dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap
manusia. masalah inilah yang saya akan paparkan dalam artikel ini.
Hadits Tentang Hakikat Cinta
Memaknai cinta yang
sebenarnya, tentu kita harus mengambil dari sumber yang yang benar pula, yakni
Al-Qur’an dan Hadits, ada beberapa makna cinta dalam
hadits (cinta kepada sesama, cinta kepada lawan jenis, dan cinta kepada Allah)
Berikut ini:
1. Cinta kepada
sesama
Di antara langkah syaitan
dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan
antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti
langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya
sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’.
Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk
lainnya. Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga
setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya,
atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja
berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia
hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah
salah satu sebab kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum
syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras.
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata,
Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak
halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim)
lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan
meninggal maka ia masuk neraka” (HR: Abu
Dawud, 5/215, Shahihul Jami’: 7635)
Abu khirasy Al
Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa memutus
hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya
(membunuhnya) “ (HR: Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406,
dalam Shahihul Jami’: 6557)
Untuk membuktikan betapa
buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui
bahwa Alloh menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasululloh Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda, yang artinya: “semua amal manusia
diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua
kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni
(dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada
permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau
tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali
berdamai” (HR: Muslim: 4/1988)
Jika salah seorang dari
keduanya bertaubat kepada Alloh, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan
memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia
telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa
tetap ada padanya.
Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan,
Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak
halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga
malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga)
membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR:
Bukhari, Fathul Bari: 10/492)
Tetapi jika ada alasan yang
dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan
maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya
membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka
pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah
keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah
dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu
tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan
seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya
menasehati, dan mengingatkannya.
2. Cinta Kepada lawan Jenis
Islam yang sempurna telah
mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat
suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang
diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa
melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang
hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Kami tidak pernah
mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR.
Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah,
tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka
berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan
intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara
keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila
keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan
timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui
dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah
memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi
larangan-Nya. Agama islam mengakui adanya cinta terhadap lawan jenis
sebagi iringan motivasi seksual, karena itu merupakan emosi fitrah manusia,
selama sesuai dengan cara yang telah disyariatkan, yaitu menikah.
3. Cinta Kepada Allah dan
Rasul
Mencintai dan mengagungkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan
mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dengan
mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan
beliau padanya.
Dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan
melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji
(Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah,
maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.“
Inilah makna cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para
sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
“Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membenci perbuatan tersebut. Hadits lainnya yang mengungkapkan
keutamaan cinta kepada Allah dan Rasu-Nya, adalah:
Rasulullah SAW bersabda, ”tiga
golongan yan akan merasakan manisnya iman yaitu: golongan yang mencintai Allah
dan Rasul-Nya lebih dari apapun, golongan yang tidak mencintai orang lain
melainkan hanya karena Allah, dan golongan yang tidak kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia tidak ingin dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.
Al Bukhari dan Muslim, At-Tirmidzi, serta An-Nasa’i,
dari Anas)
Nabi SAW menjelaskan bahwa
ada tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang maka ia akan merasakan
manisnya iman. Manis disini menunjukkan arti nikmat, senang, suka terhadap
iman. Apabila seseorang merasa nikmat terhadap sesuatu maka ia tidak akan rela
apabila sesuatu itu lepas dan hilang dari dirinya, apalagi kenikmatan itu
adalah kenikmatan iman, suatu anugerah terbesar yang seharusnya kita syukuri
dan harus benar-benar dipertahankan sampai akhir hayat kita. Jika kita berhasil
mempertahankan iman sampai ajal menjemput, maka demi Allah, surga telah menanti
kita.
Makna Cinta Dalam Perspektif
Psikologi
Dari paparan diatas, mengenai
hadits tentang cinta, jika ditinjau dari sisi psikologis pada manusia dapat di
lihat manfaatnya sebagai berikut:
1. Cinta kepada
sesama. Manusia adalah makhluk sosial, mustahil rasanya jika manusia mampu
untuk hidup sendiri, manusia terlahir di dunia dengan segala kebatasan
pada kemampuannya, dan di anugerahi dengan segala kelebihannya. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup, manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya dalam bentuk
sebuah masyarakat. Dalam hal ini, Cinta kepada sesama, merupakan hal yang
mendasar dalam mengatur interaksi seseorang dengan yang lainnya, dari faktor
cinta inilah timbulnya rasa kemanusiaan pada diri seseorang, ia dengan senang
hati untuk menolong orang lain hanya karena-Nya. Timbulnya rasa solidaritas
antar sesama manusia, sebenarnya berasal dari rasa cinta yang melahirkan empati
terhadap sesama.
2. Cinta kepada lawan
jenis. islam sebagai agama yang sempurna, memperhatikan juga
aspek-aspek duniawi dan sekaligus memberi solusinya. Dalam hal cinta
kepada lawan jenis, islam memandangnya sebagai fitrah, manusia dibekali rasa
cinta kepada lawan jenis untuk memotivasi memperbanyak keturunan, tetapi islam
juga memberi rambu-rambu atas cinta kepada lawan jenis ini, dengan solusinya
adalah dengan membangun keluarga dengan jalan menikah. Islam mengecam perzinaan,
tetapi sangat menganjurkan untuk menikah bagi yang mampu secara fisik dan
psikis, andaikata tidak atau belum mampu menikah, islam mengajurkan untuk
berpuasa dan menahan diri dari segala hal yang membangkitkan syahwat.
3. Cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya
Menurut utsman
najati, cinta kepada Allah merupakan bentuk tertinggi dari rasa
cinta yang ada pada diri manusia. Jika kita mau melihat realita, banyak
gangguan jiwa berawal dari rasa cinta yang tinggi kepada hal-hal yang bersifat
materi, misalnya rasa cinta kepada kekasih (suami atau istri), cinta kepada
harta, cinta kepada pekerjaan dan rasa cinta yang semisalnya. Yang
mengakibatkan seseorang terus memuaskan rasa cintanya –yang
pada hakikatnya tidak akan pernah terpuaskan— dengan
berlebihan. Pada akhirnya, hanya kekecewaan yang ia dapatkan karena cintanya
itu bisa saja bertepuk sebelah tangan ataupun cinta itu hanya semu dan nisbi.
Jika kondisi ini terus menerus terjadi dan ia terus terombang ambing dalam
kesedihan yang mendalam maka sederet gangguan jiwa menantinya.
Cinta kepada Allah yang di
refleksikan dalam rasa pengharapan yang tinggi kepada-Nya, menumbuhkan sikap
pasrah dan ridho kepadanya, semua yang terjadi terhadapnya akan dihadapi dengan
lapang dada, sehingga menimbulkan optimistis, rasa syukur atas nikmatnya,
karena semua yang terjadi padanya pasti ada hikmah yang cukup besar bagi
dirinya, hal inilah yang menjadikan seseorang, selalu dalam keadaan tenang dan
bahagia.
Kesimpulan
Setelah membicarakan tentang
hakikat cinta yang, hendaknya kita menyadari bahwa, cinta kepada dunia
dan seisinya adalah nisbi dan relatif. Cinta yang sejati adalah cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cinta kepada Allah dan
Rasulnya yang di refleksikan dalam rasa pengharapan yang tinggi
kepada-Nya, menumbuhkan sikap pasrah dan ridho kepadanya, semua yang
terjadi terhadapnya akan terima dengan lapang dada, sehingga menimbulkan
optimistis, rasa syukur atas nikmatnya, karena semua yang terjadi padanya
pasti ada hikmah yang cukup besar bagi dirinya, hal inilah yang
menjadikan seseorang, selalu dalam keadaan tenang dan bahagia.